Berita Menarik - Perdebatan apakah Sisingamangaraja XII adalah muslim atau bukan masih berlangsung hingga kini, Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran melawan Belanda dan di tetapkan sebagai pahlawan Indonesia, Sisingamangaraja XII (1845-1907) diyakini adalah pemeluk agama lokal. Namun, Raja Negeri Toba di tanah Batak itu juga dipercaya sempat masuk Islam sebelum gugur saat melawan Belanda.
Sisingamangaraja XII harus menghadapi Belanda pada awal 1878. Sikap kerasnya yang tidak mau menerima kehadiran misionaris Eropa melahirkan konsekuensi dengan risiko tinggi. Kaum penginjil yang merasa diancam oleh Raja Negeri Toba itu kemudian melaporkannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah pun langsung merespons. Tak hanya markas Sisingamangaraja XII saja yang ditargetkan, melainkan seluruh tanah Toba.
Awal Februari 1878, Belanda menyiapkan pasukan untuk bergabung dengan para tokoh misionaris di pedalaman Sumatera Utara. Mereka rupanya merancang strategi untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Yang disasar ternyata sudah siap. Penguasa Toba itu mengumumkan maklumat perang. Maka pecahlah pertempuran perdana pada 18 Februari 1878 (Pirmian Tua Dalan Sihombing, Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang, 2008:24).
Jika Sisingamangaraja XII menolak, bahkan mengusir, penginjil yang datang ke Toba, lantas apa agama yang dianutnya?
Semula Menganut Ajaran Lokal
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk serta berkembang di tanah Batak, kebanyakan rakyat di sana menganut ajaran leluhur (animisme), semacam Ugamo Batak, atau kepercayaan lokal orang-orang Batak. Ajaran ini memiliki banyak ragam dan tersebar di berbagai tempat, terutama di wilayah pedalaman Batak (Tridah Bangun, Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo, 1990:78). Juga memiliki banyak sebutan, kadang disebut Parbegu, atau nama yang lain.
Selain ajaran Parbegu yang menjadi agama mayoritas orang Batak pada zaman itu, masih ada pula agama lain yakni agama Parmalim. Kepercayaan yang terakhir ini, bagi beberapa kalangan, merupakan kombinasi atau perpaduan dari agama Islam dan Kristen dan nilai-nilai kepercayaan lokal. Ada juga yang menganggap Parmalim sepenuhnya berasal dari ragam kepercayaan lama orang Batak Toba yang dikanonisasi sebagai respons terhadap konteks sosial dan politik.
Bonar W. Sidjabat, penulis sejumlah buku tentang Batak dan Sisingamangaraja, termasuk dalam buku Ahu Sisingamangaraja, menyebut Sisingamangaraja XII adalah penganut ajaran Parmalim. Buku Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara karya S.P Napitupulu & ?Hilderia Sitanggang (1997) juga menuliskan Sisingamangaraja XII adalah penganut Parmalim.
Kendati demikian, penganut Parmalim percaya bahwa semua keturunan Sisingamangaraja akan menjadi raja di seluruh dunia, mereka juga percaya bahwa sang raja tidak pernah mati (Napitupulu & Sitanggang, 1997:27). Sisingamangaraja sendiri merupakan gelar kehormatan yang disandang oleh raja-raja di Negeri Toba.
Bagi sebagian orang Toba, Parmalin lebih dari sekadar agama, melainkan juga menjadi gerakan sosial dan politik yang menganggap Sisingamangaraja XII sebagai pemimpin suci dan bertujuan untuk melestarikan pola kehidupan pra-kolonial (Suzel Ana Reily & ?Jonathan M. Dueck, The Oxford Handbook of Music and World Christianities, 2016:47). Kepercayaan semacam ini membuatnya berwatak messianik, pola yang -- dalam berbagai bentuknya -- kerap mencuat dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di abad 19 hingga awal abad 20.
Maka tidak mengherankan jika Sisingamangaraja XII disokong penuh masyarakat Toba. Parmalim menjadi salah satu faktor kunci kegigihan Sisingamangaraja XII dan rakyatnya dalam melawan Belanda sampai titik darah penghabisan, meskipun ke depannya nanti agama Kristen yang justru lebih dominan.
Baca juga : Pelajaran yang Bisa Didapat Pasca Diselingkuhi
Sisingamangaraja XII Masuk Islam?
Mereka yang percaya bahwa Sisingamangaraja XII sang Raja Batak adalah seorang muslim, atau kemudian menjadi mualaf, juga cukup banyak. Ada sejumlah indikator yang digunakan untuk meyakini teori tersebut, salah satunya adalah bahwa Negeri Toba yang dipimpin Sisingamangaraja XII pernah menjadi wilayah taklukan Kesultanan Paguruyung, kerajaan Islam di Minangkabau (Sumatera Barat).
Bahkan bukan sekadar wilayah taklukan karena, menurut Thomas Stamford Raffles, orang Inggris yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1811-1816, Sisingamangaraja masih keturunan Minangkabau atau Pagaruyung. Dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (2003), disebutkan bahwa Raffles memperoleh informasi tersebut justru dari para pemimpin Batak sendiri.
Pagaruyung semula adalah kerajaan Hindu yang berkaitan dengan eksistensi Majapahit pada abad ke-14. Setelah Majapahit runtuh, Pagaruyung beralih menjadi kerajaan Islam sejak awal abad ke-16 dengan hadirnya kaum musafir muslim dan guru agama dari Aceh atau Malaka. Raja pertama Minangkabau yang memeluk Islam diketahui bergelar Sultan Alif (Dt. Batuah & Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya, 1959).
Pengaruh Pagaruyung yang telah menjelma menjadi pemerintahan Islam menjadi salah satu alasan untuk meyakini bahwa Negeri Toba taklukannya yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII pun juga menganut agama yang sama.
Ada pula yang meyakini bahwa keislaman Sisingamangaraja XII diperoleh dari Aceh. Dada Meuraxa (1973:524) dalam buku Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara menyebut bahwa Raja Negeri Toba sebelumnya, yakni Sisingamangaraja XI yang tidak lain adalah ayahanda Sisingamangaraja XII, pernah menetap di tanah rencong dan mendapatkan didikan militer dari Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan bercorak Islam.
Kabar bahwa Sisingamangaraja XII adalah seorang muslim karena pengaruh Aceh juga sempat dihembuskan justru oleh penginjil Kristen. Mereka yakin Sisingamangaraja XII memeluk Islam karena Negeri Toba menjalin kerjasama yang erat dengan Kesultanan Aceh Darussalam untuk menghadapi Belanda sekaligus membendung masuknya ajaran Islam ke tanah Batak.
Raffles juga pernah menyinggung kemungkinan ini meskipun tidak secara gamblang. Ia menyebut bahwa jika kekuatan Islam antara Minangkabau dan Aceh bersatu, maka akan menjadi ancaman yang sangat serius untuk kekuasaannya (Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, 1994:73). Minangkabau yang dimaksud adalah Kesultanan Pagaruyung yang bertautan dengan Negeri Toba.
Perdebatan tentang apakah Sisingamangaraja XII beragama Islam atau bukan masih berlangsung bahkan hingga wilayah Batak dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan justru di kalangan orang kolonial sendiri. Dalam surat kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan) tertanggal 19 Juli 1907, atau sebulan setelah Sisingamangaraja XII gugur di medan laga, dilaporkan:
“Bahwa sudah pasti S.S.M. (Sisingamangaraja XII) yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya.” (Walter Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, 1983:340)
Dalam laporan lain disebutkan pula bahwa Sisingamangaraja XII diyakini telah memeluk agama Islam tapi bukan seorang muslim yang fanatik. Sisingamangaraja XII juga tidak memaksakan kepada rakyatnya untuk beralih ke agama Islam meskipun ia berkuasa sebagai raja.
Hingga Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907, kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI pada 19 November 1961, bahkan sampai saat ini, anggapan bahwa Sang Raja Negeri Toba pernah memeluk agama Islam masih sering diperbincangkan. Berita Menarik
Pertanyaan yang Terus Mengemuka
Pertanyaan-pertanyaan tentang agama Sisingamangaraja XII memang menjadi topik yang menarik. Namun, harus diakui, masih tersisa banyak pertanyaan tentang sosok terkemuka dari Tanah Batak ini.
Dalam seminar Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII pada 26 Mei 2007, Dr. phil. Ichwan Azhari, MS mengajukan banyak sekali pertanyaan bersifat historis. Dalam makalahnya, pengajar sejarah di Universitas Negeri Medan itu bertanya : kepiting blog
"Mengapakah dia di satu sisi dekat dengan Aceh yang muslim dan panglima-panglima Aceh rela membantu perjuangannya sampai mati di tanah Batak sementara dipihak lain, dia tidak memusuhi bahkan bertemu dan berkorespondensi dengan Nommensen missionaris Kristen Batak yang terkenal itu? Jika kakeknya (Sisingamangaradja X) tewas dibunuh pasukan Islam dari arah Selatan yang ingin melakukan Islamisasi Tapanuli, mengapakah ayahnya (Sisingamangaradja XI) tidak memusuhi Islam (bahkan mengirim Sisingamangaradja XII ke dunia Islam yang lain di Aceh) dan elemen Islam diterima masuk dalam serangkaian ritus-ritus kepercayaan Sisingamangaradja XII?"
Belakangan makin mengemuka anggapan bahwa Sisingamangaraja XII bukanlah penganut Parmalim maupun Islam atau Kristen. Ulo Kozok, misalnya. Sarjana dari Jerman yang tekun meneliti teks-teks tradisional Batak percaya bahwa Sisingamangaraja bukanlah Islam, Kristen maupun Parmalim.
Menurut penulis banyak buku tentang sejarah Batak ini, ketika agama Parmalin berkembang Sisingamangaraja XII sudah berada di pengungsian, tepatnya di Dairi, untuk menghindari penangkapan tentara Belanda. Ia juga menegaskan keyakinannya bahwa Parmalim terhitung ajaran yang relatif baru, perpaduan berbagai kepercayaan lama dan baru (Islam-Kristen), sehingga tidak bisa disebut sebagai agama asli orang Batak.
"Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Parmalin," kata Kozok.
Pada seminar yang sama yang dihadiri oleh Ichwan Azhari itu, Kozok juga membahas stempel Sisingamangaraja XII yang menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam atau pun Kristen. Sebagai seorang yang mengklaim penguasa di tanah Batak, kata Kozok, selayaknya Sisingamangaraja XII memilik sebuah stempel sebagai lambang kebesarannya dan wajar saja jika dia menggunakan aksara Arab Melayu dalam stempelnya kerena saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar di Sumatera.
Ichwan Azhari sendiri, masih dalam makalah yang dirujuk sebelumnya, mengajukan sebuah hipotesis lain: "Sisingamangraja XII adalah tokoh yang terbuka dan mau mengadopsi sistem politik baru dari luar sepanjang sistem itu dianggap bermanfaat untuk mengatasi kebuntuan sistem politik lama dalam merespons perubahan jaman. ... Dia adalah tokoh pembaharu yang ingin mencairkan kebuntuan eksklusivisme sistem politik Batak yang mengisolir diri ke dalam dan bukan memperbaiki sistem yang bisa digunakan untuk merespons perubahan zaman."
Baca juga Berita lain nya :
Blogger Comment
Facebook Comment